Budaya
BUDAYA Mencermati Persamaan Budaya Melayu – Buton |
KabarIndonesia - Kebudayaan Wolio-Buton memiliki kemiripan dengan Budaya Melayu khususnya dalam prinsip kehidupan rumah tangga dan social kemasyarakatan. Hal ini terungkap pada acara diskusi Ilmiah Kebudayaan Melayu-Buton yang berlangsung di Baruga Kraton Wolio beberapa waktu lalu. Diskusi ini menampilkan tiga orang narasumber yakni Drs. Hasidin Sadif salah seorang tokoh masyarakat Buton, Prof. DR. Abdul Razak Abdul Karim dan Prof Mady Nuwairi Hj Khazai dari Malaysia. Hasidin Sadif dalam makalahnya yang berjudul ‘Miana Banua dan Miana Rapu Salah satu unsur yang berperan dalam rumah tangga keluarga Wolio Buton’ memaparkan kehidupan Rumah Tangga versi masyarakat Buton memegang prinsip yang santun. Begitu pula dalam kehidupan masyarakat Wolio. Dalam budaya Melayu, peran isteri memiliki ruang lingkup kerja berbeda dengan para suami. Kesibukan isteri lebih banyak mengurusi urusan rumah tangga seperti pembersihan dan pengaturan rumah, mencuci, kegiatan masak memasak. Di Tanah Melayu isteri dikenal dengan sebutan ‘Orang Rumah’. Sebutan ini juga identik dengan penyebutan dalam lingkungan masyarakat Budaya Wolio yakni isteri disebut ‘Miana Banua=orang rumah (dalam bahasa Wolio berarti Orang Rumah)’. Dalam hal tanggung jawab dalam lingkungan Rumah Tangga, para isteri lebih dominan dalam urusan dapur yakni menjaga serta mempersiapkan makanan keluarga. Urusan Rumah Tangga dan dapur tak dapat dipisahkan dengan dunia wanita. Bahkan, sangat tercela dalam pandangan masyarakat jika seorang isteri dan anak anak wanita dewasa tidak akrab dengan pekerjaan rumah. Apalagi jika tidak memiliki keterampilan. Sesuai dengan tugas yang dijalankannya itu mereka dikenal dengan sebutan ‘Orang Dapur’. Sebutan ini pula dikenal sama oleh masyarakat Wolio dengan sebutan ‘Miana Rapu (Dalam bahasa Wolio berarti orang dapur). Dahulu ada anggapan umum yang berkembang di tengah masyarakat bahwa bagaimanapun tinggi posisi dan pendidikan seorang wanita, akhirnya harus kembali ke dapur. Namun, anggapan itu kini mulai berubah seiring perkembangan pemikiran dan teknologi. Sisi lain yang menjelaskan kemiripan antara kebudayaan budaya Melayu dan Buton yakni nilai asas budaya. Dalam budaya Melayu, kehidupan juga tidak terlepas dengan ajaran Islam. Hal ini terlihat dalam ungkapan masyarakat Melayu ‘Adat bersendikan Syara, Syara Bersendikan Kitabullah, Syara mengata adapt meakai. Syah kata syara, Benar kata adat. Bila bertelikai adap dengan syara, tegakkan syara’. Masyarakat Buton pun memiliki falsafah yang sama yakni ‘Yinda Yindamo Sara Somanamo Agama’. Falsafah masyarakat budaya Buton juga mengatakan ‘Ynda Yndamo Karo Somanamo Lipu, Ynda Yndamo lipu somanamo sara’. Dalam budaya melayu ungkapan dengan makna yang sama berbunyi ‘Adat Sesampan satu haluan, adapt berlayar satu kemudi. Adat memerintah satu titah, adapt memimpin satu petuah. Elok berkayuh sama merengkuh, elok berdayung sama sealun, elok berlayar sama tujuan’. Juga dijelaskan dalam budaya Melayu ‘Nilai seanak – sekemenakan’ yang menganjurkan tanggung jawab dan peduli terhadap perkembangan dan pertumbuhan masyarakat agar saling menasehati dalam kebaikan. Dalam budaya Buton dikenal dengan ‘Popiara Piara yang terdapat dalam Sara Pataanguna’. Sedangkan falsafah ‘Poangkaa Angkataka’ dalam budaya Buton yang mengandung arti saling menghormati, baik para pemimpin, tokoh tokoh dan para tetua dengan masyarakat. Dalam ungkapan Budaya Melayu ini dikenal dengan’ Tanda seinduk dan sebahasa, tanda orang senenek dan semamak: Petuah diingat amanah disimak’. Bagi masyarakat Buton, bertutur kata dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan sebutan ‘Pogau Malau bukan Pogau Indonesia’ (Dalam bahasa Buton Pogau Malau = Bahasa Indonesia) Dari beberapa ungkapan ini, kekerabatan antara masyarakat Melayu dan Buton sangat jelas. Walikota Baubau, MZ Amirul Tamim yang membuka kegiatan diskusi yang diikuti oleh para tokoh masyarakat serta para akademisi ini menilai kegiatan ini dapat dijadikan rujukan sebagai bahan penelitian. “Kegiatan ini cukup bermanfaat untuk menggali serta menghimpun informasi tentang hubungan kekerabatan antara masyarakat Melayu dan Buton termasuk dari segi budaya serta penerapannya dalam kehidupan bermasyarakat,” katanya. Diskusi ini kata Kadis Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Baubau, Drs. M Djudul merupakan tindak lanjut dari Simposium Internasional yang digelar pada bulan agustus 2005 lalu. *** |