Wasilomata Map

https://www.google.com/maps/place/Sulawesi+Tenggara/@-4.4920258,120.4960414,7z/data=!3m1!4b1!4m5!3m4!1s0x2d98ecde0b6b7183:0x621d7c439f04a4ed!8m2!3d-4.14491!4d122.174605

sejarah

ASAL MULA TERJADINYA PULAU BUTON

OLEH : ALI HABIU

Berdasarkan Risalah RabbiKU Nomor : 0,1,2,3 "Onemillion Phenomena" oleh Fahmi Basya, edisi syawal 1404 hijriah atau tahun 1983 masehi. Dalam risalah ini dikisahkan asal mula terjadinya pulau Buton adalah akibat dari pergerakan lempeng kulit bumi poros Ka'bah-Thuur. Dataran arabia adalah merupakan kecepatan awal pergerakan kulit bumi mengarah ke timur laut Sulawesi. Pulau Sulawesi diambil sebagai standar, mengingat Sulawesi berada ditengah-tengah antara Mekka (dataran arab) dengan pulau Toamoto (dalam al-qur'an disebut Thuur) yang berada di laut Pasifik Selatan 180 derajat dari Ka'bah. Dan tepatnya adalah sekitar pulau Buton di Sulawesi Tenggara. Perlu diketahui bahwa kecepatan awal hanya sama pada radius-radius yang sama, sehingga kecepatan awal terbesar terdapat pada daerah Equator ketika Ka'bah-Thuur sebagai sumbu bumi. Semakin dekat pada kedua kutub, gerak sisa akan semakin kecil.  Oleh sebab itu di Pasifik cenderung untuk menjadi satu lempeng Tektonik yang berputar dengan pusat Toamoto. Demikian juga lempeng Tektonik Arabia cenderung untuk berputar ditempat dengan pusat Ka'bah, sehingga ia menyebabkan Laut Kaspia bertambah besar. Sedangkan gerak lempeng Tektonik Pasifik menyebabkan danau-danau di San Pransisco seperti permen karet ditarik, karena lempeng Amerika telah berada di atas lempeng Tektonik Pasifik. Gerak sisa pada kulit bumi dari poros artik-antartik adalah kecepatan akhir yang mengarah ke barat Sulawesi. Resultanta antara kecepatan awal dan kecepatan akhir adalah kecepatan tujuan yang mengarah ke Barat Laut. Dan perlu diketahui bahwa besar kecepatan tujuan dan arahnya berbeda-beda sesuai dengan seperangkat kecepatan akhir dan kecepatan awal serta arahnya.  Sehingga dipermukaan bumi berbagai kecepatan gerak lempeng Tektonik yang saling menjauh, saling mendekat, saling bergeseran hingga membentuk gunung, bukit, daerah retak, lembah, danau dan lain-lain. Pada daerah sekitar Sulawesi, gaya kecepatan awal dan kecepatan tujuan itu terlihat jelas. Akibat kecepatan tujuan, Sulawesi bergerak menjauhi tenggara. Bentuk pulau inipun masih memperlihatkan bentuk bongkok akibat dari menjauhi pulau Buton.  Buton berasal dari bahasa Arab "Buthuun" yang berarti "Perut-Perut". Kalau pulau Buton ini diistilahkan oleh Rasulullah Muhammad SAW sebagai "Al-Bathniy" atau "hurup Mim" pada pusat (perut) manusia, maka timbul pertanyaan ; Apa hubungannya Laut Kaspia dengan pulau Buton?

Peta Laut Kaspia di Arabia
 
 Bila kita membuka peta bumi (world map), perhatikan laut kaspia di dataran Arabia, relief dan struktur morfologisnya hampir sama dengan pulau Buton. 
Oleh karena itu, apakah secara ilmiah memang ada hubungan geologis antara pulau Buton dengan Laut Kaspia yang terdapat di dataran Arab?.  Para peneliti geologi dari Guelph University Toronto Canada sekitar tahun 1993 lalu telah melakukan penelitian struktur batuan yang terdapat di pulau Buton. 

 Hasil penelitian disimpulkan bahwa struktur batuan pulau Buton sama dengan yang terdapat di dataran Arab dengan usia sekitar 138 juta tahun.  Masih diperlukan studi lebih lanjut oleh para ilmuwan untuk menguak tabir ini sehingga Bangsa Arab tau bahwa ada bagian mereka yang hilang dan yang hilang itu ada di pulau Buton. Demikian pula untuk pulau Muna, reliefnya hampir sama dengan Laut Hitam dan usia batuannya diperkirakan 143 juta tahun lebih tua dari pulau buton.****

Budaya


Mencermati Persamaan Budaya Melayu – Buton
 
BUDAYA

Mencermati Persamaan Budaya Melayu – Buton
KabarIndonesia - Kebudayaan Wolio-Buton memiliki kemiripan dengan Budaya Melayu khususnya dalam prinsip kehidupan rumah tangga dan social kemasyarakatan. Hal ini terungkap pada acara diskusi Ilmiah Kebudayaan Melayu-Buton yang berlangsung di Baruga Kraton Wolio beberapa waktu lalu.

Diskusi ini menampilkan tiga orang narasumber yakni Drs. Hasidin Sadif salah seorang tokoh masyarakat Buton, Prof. DR. Abdul Razak Abdul Karim dan Prof Mady Nuwairi Hj Khazai dari Malaysia.
Hasidin Sadif dalam makalahnya yang berjudul ‘Miana Banua dan Miana Rapu Salah satu unsur yang berperan dalam rumah tangga keluarga Wolio Buton’ memaparkan kehidupan Rumah Tangga versi masyarakat Buton memegang prinsip yang santun. Begitu pula dalam kehidupan masyarakat Wolio.

Dalam budaya Melayu, peran isteri memiliki ruang lingkup kerja berbeda dengan para suami. Kesibukan isteri lebih banyak mengurusi urusan rumah tangga seperti pembersihan dan pengaturan rumah, mencuci, kegiatan masak memasak. Di Tanah Melayu isteri dikenal dengan sebutan ‘Orang Rumah’. Sebutan ini juga identik dengan penyebutan dalam lingkungan masyarakat Budaya Wolio yakni isteri disebut ‘Miana Banua=orang rumah (dalam bahasa Wolio berarti Orang Rumah)’.

Dalam hal tanggung jawab dalam lingkungan Rumah Tangga, para isteri lebih dominan dalam urusan dapur yakni menjaga serta mempersiapkan makanan keluarga. Urusan Rumah Tangga dan dapur tak dapat dipisahkan dengan dunia wanita. Bahkan, sangat tercela dalam pandangan masyarakat jika seorang isteri dan anak anak wanita dewasa tidak akrab dengan pekerjaan rumah. Apalagi jika tidak memiliki keterampilan. Sesuai dengan tugas yang dijalankannya itu mereka dikenal dengan sebutan ‘Orang Dapur’. Sebutan ini pula dikenal sama oleh masyarakat Wolio dengan sebutan ‘Miana Rapu (Dalam bahasa Wolio berarti orang dapur).
Dahulu ada anggapan umum yang berkembang di tengah masyarakat bahwa bagaimanapun tinggi posisi dan pendidikan seorang wanita, akhirnya harus kembali ke dapur. Namun, anggapan itu kini mulai berubah seiring perkembangan pemikiran dan teknologi.

Sisi lain yang menjelaskan kemiripan antara kebudayaan budaya Melayu dan Buton yakni nilai asas budaya. Dalam budaya Melayu, kehidupan juga tidak terlepas dengan ajaran Islam. Hal ini terlihat dalam ungkapan masyarakat Melayu ‘Adat bersendikan Syara, Syara Bersendikan Kitabullah, Syara mengata adapt meakai. Syah kata syara, Benar kata adat. Bila bertelikai adap dengan syara, tegakkan syara’.

Masyarakat Buton pun memiliki falsafah yang sama yakni ‘Yinda Yindamo Sara Somanamo Agama’.  Falsafah masyarakat budaya Buton juga mengatakan ‘Ynda Yndamo Karo Somanamo Lipu, Ynda Yndamo lipu somanamo sara’. Dalam budaya melayu ungkapan dengan makna yang sama berbunyi ‘Adat Sesampan satu haluan, adapt berlayar satu kemudi. Adat memerintah satu titah, adapt memimpin satu petuah. Elok berkayuh sama merengkuh, elok berdayung sama sealun, elok berlayar sama tujuan’.

Juga dijelaskan dalam budaya Melayu ‘Nilai seanak – sekemenakan’ yang menganjurkan tanggung jawab dan peduli terhadap perkembangan dan pertumbuhan masyarakat agar saling menasehati dalam kebaikan. Dalam budaya Buton dikenal dengan ‘Popiara Piara yang terdapat dalam Sara Pataanguna’.

Sedangkan falsafah ‘Poangkaa Angkataka’ dalam budaya Buton yang mengandung arti saling menghormati, baik para pemimpin, tokoh tokoh dan para tetua dengan masyarakat. Dalam ungkapan Budaya Melayu ini dikenal dengan’ Tanda seinduk dan sebahasa, tanda orang senenek dan semamak: Petuah diingat amanah disimak’.

Bagi masyarakat Buton, bertutur kata dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan sebutan ‘Pogau Malau bukan Pogau Indonesia’ (Dalam bahasa Buton Pogau Malau = Bahasa Indonesia)

Dari beberapa ungkapan ini, kekerabatan antara masyarakat Melayu dan Buton sangat jelas. Walikota Baubau, MZ Amirul Tamim yang membuka kegiatan diskusi yang diikuti oleh para tokoh masyarakat serta para akademisi ini menilai kegiatan ini dapat dijadikan rujukan sebagai bahan penelitian. “Kegiatan ini cukup bermanfaat untuk menggali serta menghimpun informasi tentang hubungan kekerabatan antara masyarakat Melayu dan Buton termasuk dari segi budaya serta penerapannya dalam kehidupan bermasyarakat,” katanya.

Diskusi ini kata Kadis Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Baubau, Drs. M Djudul merupakan tindak lanjut dari Simposium Internasional yang digelar pada bulan agustus 2005 lalu. *** 

Lambang Sulawesi Tenggara

baruga

Wasilomata Pusat Kebudayaan Mawasangka


Wasilomata menjadi kiblat kebudayaan rumpun Mawasangka. Karena memiliki situs sejarah masa lalu, berupa Beteng Wasilomata yang letaknya tidak terlalu jauh dari perkampungan masyarakat. Apalagi kehidupan masyarakatnya masih kental adat dan kebudayaan masa lalu, sehingga menjadikan daerah tersebut sebagai pusat kebudayaan tiga kecamatan, yakni Mawasangka, Mawasangka Tengah dan Mawaangka Timur. Hal ini diungkapkan Kasubid Bina Budaya Disbudpar Kabupaten Buton, Nasiri SSos.

Menurut Nasiri, Mawasangka merupakan daerah matana sorumbah yang berpusat di Wasilomata. Pasalnya samua perangkat adat masih difungsikan hingga saat ini, seperti parahbela, pangara, bhonto dan wati yang dibantu delapan orang staf.

"Masyarakat rumpun Mawasangka masih sangat kental dengan adat dan budayanya. Fungsi parabhela, pangara, bhonto dan wati masih diterapkan dalam kehidupan adat dan budaya di daerah matana sorumba itu. Namun yang lebih kental di Wasilomata adalah pusat kebudayaan Mawasangka," terangnya.

Perhatian terhadap lembaga atau pelaku adat ini kata Nasiri, pihaknya masih melakukan upaya-upaya untuk memberdayakan para perangkat dan pelaku adat untuk mendapatkan seragam parabhela, pangara, bhonto dan wati. Hal ini dimaksudkan agar para pelaku adat tersebut tampil dengan ciri khas sendiri.

Potensi budaya ini lanjut Nasiri, menjadi perhatian serius dinasnya untuk dilestarikan agar tetap terjaga dari kepunahan.